Sepak bola yang dimainkan FC Barcelona saat ini terlihat sederhana. Hanya perguliran bola-bola pendek akurat bergerak dalam permutasi segitiga yang konsisten menjadi roh sepak bola ala tiki taka.
Istilah tiki-taka ini didengungkan oleh komentator televisi Spanyol Andres Montes ketika pertandingan digelar antara Spanyol dan Tunisia untuk menggambarkan gaya permainan Spanyol dengan peralihan bola-bola pendek, cepat dan akurat serta elegan..
Kolumnis sepak bola Raphael Honingstein, menyebut tiki-taka sebagai permainan memonopoli bola. Spanyol meninggalkan permainan yang mengandalkan fisik dan sepenuhnya beralih menjadi permainan teknik tinggi.
"Dengan tiki taka, Spanyol membuat lawan lelah,” ujar Honigstein. Katanya, “Saat lawan kehilangan konsentrasi bertahan, Xavi melepas umpan ke jantung pertahanan, atau Iniesta melakukan serangan balik yang diakhiri umpan tarik mematikan.”
Namun, sebelum La Furia Roja mengklaim tiki taka, Kolombia disebut sebagai penemu istilah tiki taka yang pertama. Banyak komentator di Kolombia menyebut 'toque-toque' atau 'sentuh-sentuh', gaya yang diperagakan Carlos Valderrama Cs. pada tahun 1994.
Di Indonesia, pada era 1970-an, juga sudah dikenal istilah ‘tik-tak” yang digunakan dalam menembus pertahanan lawan “wall pass” sesekali, tidak terus menerus. Di Spanyol, khususnya di FC Barcelona, warna tiki-taka menjadi falsafah bermain bola dengan teknik tinggi, dominasi penguasaan bola, rebut bola sekuat tenaga kalu perlu lawan yang menguasai bola “dikeroyok”.
Total football, Rinus Michel dan Johan Cruijff
Tiki taka sejatinya adalah turunan total football, gaya permainan super-ofensif yang jadi ciri khas Timnas Belanda era 1970-an. Dalam total football, semua pemain terus bergerak, membentuk segitiga-segitiga kecil agar bola bisa terus diumpan. Saat satu pemain meninggalkan posisinya untuk menyerang, pemain lain mengisi posisi tersebut. Begitu seterusnya sehingga organisasi permainan tetap terjaga.
Dalam formasi yang amat lentur ini, tak ada pemain yang punya posisi khusus. Masing-masing bisa menjadi bek, gelandang maupun penyerang dengan efektif. Ciri ini masih terlihat dalam permainan timnas Spanyol dan Barcelona.
Total football sendiri dikembangkan oleh Rinus Michel di akhir tahun 60-an saat masih melatih Ajax Amsterdam. Pemain andalannya adalah Johan Cruijff, asli binaan akademi sepak bola Ajax. Seperti Messi, pria kelahiran Amsterdam tahun 1947 itu adalah fenomena di zamannya.
Cruijff dikenal karena teknik, kecepatan, akselerasi serta dribbling bak seekor kijang yang sulit dibendung lawan. Ia punya kemampuan terbaik dalam visi sepak bola. Ia seolah punya radar untuk memantau posisi rekan-rekannya sehingga bisa dengan cepat dan akurat memberikan umpan, bahkan saat melakukan dribbling atau menggocek lawan.
Michel membawa temuannya, baik total football dan Cruijff, untuk pindah ke Barcelona di tahun 70an. Di sela-sela melatih Barca, Michel sang pelatih juga ditunjuk melatih Belanda.
Saat terpilih, Belanda sudah melakoni kualifikasi dan lolos ke Piala Dunia 1974. Sepanjang fase grup, Belanda tak pernah kalah, berhasil menyingkirkan Argentina dan Brasil, mencetak 14 gol dan kebobolan satu. Sayang, di final mereka tumbang atas Jerman.
“Kami terus bahas soal ruang sepanjang waktu. Johan Cruijff selalu membahas ke mana para pemain harus berlari dan di mana mereka harus berada, serta kapan mereka harus berhenti. total football adalah ihwal membuka ruang, memasuki ruang, dan mengatur ruang seperti arsitektur di lapangan bola,” ujar rekan Cruijff di timnas, Barry Hulshoff.
Total football mereduksi pertunjukan teknik individu dan memberikan ruang lebih banyak bagi taktik dan kerjasama tim. Dasarnya sederhana, umpan dan bergerak.
“Sepak bola sederhana adalah yang terindah. Tetapi memainkan sepak bola sederhana adalah yang paling sulit,” kata Cruijff.
Di Barca, total football dengan duet Rinus Michel-Johan Cruijff menghadirkan gelar La Liga 1974 dan Piala Raja 1978. Michel dan Cruijff berbarengan meninggalkan Camp Nou di awal musim 1979, namun total football bertahan di Barca.
Sebagai pemain yang merasakan betul manfaat sebuah akademi sepak bola dan kepercayaan yang diberikan tim kepada pemain muda, Cruijff menyarankan presiden Barcelona saat itu, Josep Nunez, untuk membangun akademi pemain dengan karakter yang kuat, sebelum Cruijff meninggalkan Barca pada 1979.
Cruijff, yang tiga kali meraih trofi Ballon d’Or (’71, ’73 dan ’74), juga menyarankan agar sang presiden mempertahankan filosofi yang diperkenalkan oleh Rinus Michels. Saran ini dituruti dan dibukalah akademi yang kini dikenal sebagai La Masia.